10 Desember 2013

Antre = Cermin Karakter

Artikel ini telah dimuat di kompas.com
Saya sendiri masih sering menemukan orang-orang yang tidak bisa mengantre dengan baik, padahal sudah dewasa. parahnya, sering saya temui dari teman-teman mahasiswa yang tidak terbiasa mengantre bahkan dalam hal kecil seperti mengisi presensi. Anehnya, pemandangn indah antrean malah sering nampak pada anak-nak SD. Nah, berikut artikel yang saya baca di kompas

Mengantre atau Mati

  • Selasa, 10 Desember 2013 | 12:01 WIB
Warga mengantre untuk masuk ke dalam Monumen Nasional, Jakarta, Jumat (9/8/2013). Pada hari ke-2 libur lebaran. Warga Jakarta yang tidak mudik ke kampung halaman memanfaatkannya dengan pergi ke sejumlah tempat wisata di Jakarta. | KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES
Oleh: Herry Tjahyono  

Seorang sahabat mengirimkan tulisan menarik yang didapatnya dari sebuah milis – tentang “belajar mengantre vs matematika”.

Ketika saya periksa lewat google saya mendapatkan salah satu sumbernya: Kaskus. Karena bermanfaat, saya mohon izin mengadaptasinya dalam tulisan ini. Dikisahkan tentang seorang guru yang mengatakan, sebagai guru ia tak terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai matematika. Dia jauh lebih cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh keyakinan dia menjawab cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai matematika. Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses mengantre, perlu setidaknya 12 tahun.

Selanjutnya dikatakan, kelak tidak semua anak didiknya memilih profesi yang berhubungan langsung dengan matematika kecuali keterampilan tambah, kali, kurang, dan bagi. Namun yang jelas, semua anak didiknya itu akan memerlukan etika dan moral (yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka kelak. Lalu dengan tangkas guru itu menjelaskan sebagian nilai-nilai kehidupan berharga di balik keterampilan mengantre, yang akan saya adaptasi sesuai konteks tulisan ini.

Pertama, anak akan belajar manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang. Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang datang lebih awal dapat  giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang biasanya orang membaca buku saat mengantre). Keenam, anak belajar tabah menjalani proses dalam mencapai tujuannya,. Ketujuh, anak belajar hukum sebab-akibat, bahwa jika terlambat harus menerima konsekuensi di antrean belakang. Kedelapan, anak belajar keteraturan dalam hidup. Kesembilan, anak belajar memiliki rasa malu. Kesepuluh, anak belajar jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Mewujud dalam perilaku

Kesepuluh nilai itu memang berhubungan langsung dengan etika atau moral seorang anak. Sedangkan etika atau moral berhubungan dengan (hati) nurani. Dan sesungguhnya, jika nurani seseorang “mati” kemanusiaan orang itu juga mati. Saya mendadak tercerahkan  bahwa budaya korupsi, setidaknya untuk jangka panjang, salah satunya bisa diberantas melalui pendidikan “keterampilan” mengantre sejak masa kanak-kanak. Budaya, secara praksis adalah values in action atau nilai-nilai yang mewujud dalam perilaku. Maka jika ingin memberantas korupsi, kita wajib menginternalisasikan nilai-nilai yang berkebalikan dengan nilai-nilai yang dianut para koruptor. Mari kita potret head to head pertempuran antarnilai ini.

Pertama, nilai perencanaan dan manajemen waktu adalah lawan telak dari nilai koruptor yang oportunis, aji mumpung, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Para koruptor sangat bodoh dalam merencanakan pekerjaan dan kehidupan mereka, tak punya perencanaan kerja yang etis dan profesional di balik nafsu ingin kaya. Kedua, nilai kesabaran menunggu giliran – lawan sempurna dari nilai hidup koruptor yang ingin kaya dengan cepat. Tak ada kesabaran yang mengendalikan dirinya, bahwa segala sesuatu ada waktunya dan selama penantian “giliran”  harus diisi dengan kerja yang baik dan benar.

Ketiga, nilai tentang hak diri dan orang lain akan melumat nilai koruptor yang tak peduli tentang hak dan kewajiban. Koruptor tak mau tahu, semua yang dijarahnya bukan haknya. Jangankan hak orang lain, hak negarapun dia sikat. Dia tak pernah belajar bahwa yang menjadi haknya mesti sesuai kontribusi yang dia berikan dan kewajiban yang dia jalankan dengan baik, di luar itu sama sekali bukan haknya. Keempat, nilai kedisiplinan, lawan  dari nilai hidup koruptor yang tidak pernah taat aturan dan seenak hatinya dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan,

Kelima, nilai kreatif – menghancurkan nilai koruptor yang hanya “kreatif” dalam mencuri dan menjarah yang bukan haknya, namun bodoh soal berprestasi untuk   hal yang positif sesuai kewajibannya. Nilai kreatif,  bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan (termasuk kekayaan sekalipun) perlu kinerja yang istimewa dan kreativitas adalah salah satu syarat utama untuk berprestasi di balik uraian tugas dan kewajiban standar yang diberikan. Keenam, nilai ketabahan – merupakan lawan nilai hidup koruptor yang lembek, hedonis, rapuh, cepat menyerah. Para koruptor bukanlah pejuang kehidupan sebab  semua kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui perjuangan hidup, dan semua perjuangan hidup memerlukan ketabahan. Jadi koruptor tak lebih dari pecundang kehidupan.

Ketujuh, nilai sebab-akibat atau konsekuensi kehidupan – berkebalikan dengan nilai koruptor yang tak pernah konsekuen dalam bekerja. Koruptor ingin melawan hukum alam atau hukum besi kehidupan bahwa yang bekerja baik dan cepat yang akan dapat sesuatu yang diinginkan. Koruptor ingin memutarbalikkan itu semua, tanpa kerja keras dan bersantai-santai, namun cepat kaya dan paling kaya.

Kedelapan, nilai keteraturan dalam kehidupan – menentang nilai kekacauan (chaos) yang dianut para koruptor. Para koruptor dengan sadar membuat kekacauan dalam sistem kerja, lingkungan kerja, dan kehidupan melalui perilaku korupsinya. Dan celakanya, dia tak peduli dengan itu semua. Koruptor adalah orang yang kacau hidup dan kerjanya.

Kesembilan, nilai tentang rasa malu – bertentangan habis dengan nilai koruptor yang tidak pernah menghargai martabat dirinya sebagai manusia, dan bermuara pada sifat tak punya malu. Lihatlah para koruptor yang masih cengengesan di berbagai tayangan televisi, bahkan sempat melambai-lambaikan tangan meski memakai baju tahanan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tak punya rasa malu karena hilang martabat diri. Kesepuluh, nilai kejujuran – merupakan lawan sempurna dari nilai diri koruptor yang serba culas dan menipu siapapun, termasuk Tuhan dan diri sendiri.

Maka kesepuluh nilai di balik pelajaran mengantre itu layak dijadikan obat jangka panjang untuk memberantas budaya korupsi di negeri ini. Sesuai konteks tersebut, keterampilan mengantre  perlu dilatih sejak dini. Untuk jangka pendek, kita bisa mengandalkan pemberantasan korupsi bersifat sistemik dan  law enforcement. Namun jangka panjang, mutlak harus dimulai dengan pendidikan (internalisasi) nilai-nilai seperti dalam  keterampilan mengantre sejak usia dini.  Mengantre atau mati (nurani), itu saja pilihannya!


Herry Tjahyono, Terapis Budaya Perusahaan

"Angkot The Game" Inovasi Game Indonesia

Angkot yang jadi alat transportasi khas Indonesia, yang mencatat berbagai polemik mulai dari perizinan hingga sumbangan emisi,  sekarang "naik level" melalui hadirnya game ini. Seperti berita yang dihadirkan kompas.com berikut :

"Angkot The Game", Serunya Jadi Sopir Tembak


Angkot The Game.
JAKARTA, KOMPAS.com — Angkot The Game adalah permainan elektronik yang menempatkan kita di kemudi angkot (angkutan kota), transportasi massal yang kerap ditemui di perkotaan.

Game yang baru dirilis dalam versi beta oleh Inmotion dan Oray Studios untuk platform PC ini mampu mengemas perjuangan sopir angkot di Kota Bandung dengan pendekatan game modern.

Protagonis dari Angkot The Game adalah Ogi yang datang ke kota untuk mencari kerja. Dijemput oleh kawan karibnya yang bernama Maman, mereka hendak beranjak pulang saat mendapati teman Maman, yang seorang sopir angkot, mengalami kecelakaan.

Ogi pun menjadi sopir tembak alias sopir dadakan untuk menyelesaikan rit atau putaran angkot melewati trayeknya. Rupanya, nasib pun mendorong Ogi untuk terus terlibat dengan angkot.

Permainan ini dimainkan dengan menjalankan angkot melintasi rute yang sudah ditentukan sebelumnya. Mobil yang kita kendarai harus melaju ke checkpoint untuk mendapatkan waktu tambahan, tidak lupa untuk berhati-hati dengan kendaraan lain yang melintas.

Tidak hanya itu, mobil kita memiliki indikator bensin yang harus diisi dengan mencari tukang bensin eceran. Kita pun juga harus memperhatikan perempatan yang dijaga oleh polisi untuk menghindari tilang bila melanggar lampu merah.

Sebagai sopir angkot, tentu saja permainan terpusat dengan menaik-turunkan penumpang angkot. Calon penumpang dengan balon dialog didekati dan mereka akan masuk ke dalam angkot. Mereka akan turun dengan perintah "kiri" dan angkot harus segera berhenti agar mendapatkan tip.

Jika berhenti terlalu jauh, maka penumpang akan kecewa dan reputasi akan jatuh. Setiap penumpang yang diangkut akan memberikan uang kepada pemain sebesar Rp 2.000. Bila menyetirnya bagus, maka mereka akan memberikan tip Rp 1.000.

Angkot The Game dimainkan dengan menjalankan mobil ke rute tertentu, mengangkut penumpang sembari menghindari tabrakan. Pemain juga harus bergerak sebelum waktu habis sambil memperhatikan bensin yang dimiliki. Mereka juga bisa mengambil beberapa hal di jalan, yang akan memberi efek tertentu, seperti waktu tambahan atau kesehatan.

Dalam permainan ini, kita bisa memilih jenis angkot yang memiliki spesifikasi tertentu, lengkap dengan opsi untuk menghiasinya menggunakan berbagai tempelan.

Untuk sementara, baru ada empat chapter dalam versi beta yang bisa diunduh gratis ini dari tautan ini.

Setiap chapter memiliki cerita, mulai kisah awal Ogi memegang angkot milik teman Maman, hingga bertemu dengan juragan angkot yang memintanya untuk mengendarai angkot lama.

Sebagai game dengan versi beta, tentu saja permainan ini jauh dari sempurna. Masih banyak ditemui kejanggalan-kejanggalan seperti penumpang yang tidak mau naik angkot, meski masih ada ruang kosong.

Begitu pula kendaraan yang tiba-tiba muncul dan menindih mobil lain sehingga terguling di tengah jalan. Beberapa checkpoint yang seharusnya memberikan tambahan waktu saat dilalui ternyata tidak berjalan seperti seharusnya.

Meski demikian, game ini berhasil menangkap roh dari angkot yang biasa dikenal dengan karakter ugal-ugalan di jalanan. Dengan memainkannya, kita bisa memahami suka dan duka sopir angkot yang kerap ugal-ugalan karena terpaksa, demi mengejar setoran harian.

Angkot The Game juga berhasil menciptakan kembali suasana Kota Bandung dengan jalan kecil dan dipenuhi persimpangan, termasuk para penumpang yang berbicara dengan bahasa Sunda.

Game Facebook

Iqbal Aribaskara dari Inmotion mengisahkan bahwa game ini sebetulnya berawal dari permainan yang dikembangkan di Facebook dengan judul sama. Percobaan tahun 2010 tersebut mendapatkan respons yang cukup positif hingga ratusan ribu pengunjung.

"Sayangnya, game tersebut diblokir oleh Facebook tanpa ada kejelasan hingga kini," kata Iqbal.

Pada tahun 2011, Iqbal bersama rekannya yang bernama Antorio Bergasdito membentuk Inmotion yang berkonsentrasi di pengembangan peranti lunak. Mimpi terhadap Angkot The Game kembali dilanjutkan dengan perombakan, yakni dengan gaya visual tiga dimensi.

Target dari permainan ini, ujar Iqbal, sangatlah sederhana, yakni membuat pemain terhibur dengan mengangkat topik keseharian yang disajikan dengan menarik. Fitur radio yang dipersiapkan dalam game ini juga sengaja disiapkan untuk memberi ruang bagi musisi yang ingin memasang lagu-lagu agar bisa didengarkan oleh pemain.

Tunggu apa lagi?